Gunung Merbabu
Trailrunning Merbabu dan Menikmati Kejutan Indah Pegunungan Jawa Tengah
Saturday, April 04, 2015
"WOY, TONI... PAHA KIRIKU KERAM!!!" teriak saya sekencang-kencangnya dalam hati, seraya melambaikan tangan ke arah Toni yang berada di bukit seberang. Sebenarnya saya mau teriak pakai TOA a.k.a pengeras suara di masjid dan melambaikan sapu tangan putih, tapi saya malu jika seluruh penghuni puncak Kenteng Songo Gunung merbabu mendengarnya kala itu. Bisa-bisa rusak reputasi saya sebagai tukang playon gunung amatir. Jadi, saya cuma melambai memberi kode dari puncak seberang sambil menunjuk paha kiri yang harus diseret setelah otot tertarik di tanjakan terakhir.
Wahaha... ceritanya bakalan panjang nih. Jadi siapkan minuman dan cemilan yak *senyum ramah*
Dhave bilang kalau jalur Wekas adalah jalur terpendek menuju ke merbabu. FYI, Dhave ini adalah Ahli microbiologi dari Salatiga yang terperangkap dalam dunia fotografi. Dialah orang sudah mencuci otak saya, menjejalinya dengan segala tantangan dan kejutan-kejutan gila nanmenyenangkan tentang lari di gunung, lebih populer dengan sebutan Trail Running atau Mount Trail.
Pada dasarnya Trail Running adalah olah raga lari yang mengambil jalur pendakian gunung sebagai track-nya. Olah raga ini membutuhkan stamina dan daya tahan tubuh yang maksimal, selain itu pelari juga membutuhkan pengetahuan dasar pedakian dan pemahaman navigasi bila tidak ingin tersesat.
Wekas. Di sini lah kisah pendakian kami mulai. Wekas adalah desa paling terakhir sekaligus tempat pos pendataan bagi para pendaki. Dari jalan raya, kami memilih untuk naik ojek untuk mempersingkat waktu dan tenaga. Jarak 3.4km ditempuh hanya 15 menit melewati jalan Taman Nasional Gunung Merbabu yang cukup menegangkan.
CENGLU YANG MENEGANGKAN! Cenglu dalam bahasa semarangan berarti 1 motor dinaiki 3 orang, dengan formasi tukang ojek sebagai striker, saya gelandang, dan Dany sebagai penjaga gawang. Rem seakan tidak difungsikan, yang ada hanya gas, gas, meliuk dan tarik gas lagi. Sungguh kolaborasi yang epic. Motor laki yang tangguh dan tukang ojek yang sudah khatam medan tempur, mungkin dia juga sudah hafal dimana dan tau berapa jumlah lubangnya. Alhamdulilah organ tubuh masih utuh sampai di pos.
Setelah membayar karcis masuk sebesar Rp4.000,- dan mendaftarkan diri untuk pendakian, kami langsung melakukan aklimatiasi untuk menyesuaikan iklim setempat, melakukan pemanasan secukupnya, lalu berganti kostum lari. Demi keamanan jiwa, raga dan dunia persilatan,saya memilih memakai celana kolor warna hitam. Namun, Sayangnya ada beberapa perlengkapan yang tidak saya bawa, ini murni kekhilafan saya.
Saya tidak memakai sepatu. Saya hanya menyelipkan kedua kaki pada sandal gunung, yang saya pikir cukup nyaman untuk melakukan pendakian. Ternyata salah. Salah besar! Jadi, runners, ini merupakan pelajaran, pakai lah sepatu yang nyaman saat trailrunning, atau kakimu akan kering, kaku, kotor dan luka. Namun beda lagi bila kamu punya ceker sakti.
Berkat pengalaman menyakitkan di merbabu inilah, nantinya saya tidak lagi memakai sandal untuk naik gunung. Selain sepatu, saya juga lupa membawa sarung tangan, penutup kepala dan masker. Namun ada hal yang lebih penting untuk disiapkan, yaitu fisik. saya sama sekali tidak joging atau basket setelah kemarin libur panjang. Tabrak aja dulu deh! "bismillah" semoga kuat dan perjalanan lancar.
Di atas kertas, jarak menuju puncak hanya 5.76 kilometer kalau dari Wekas, hmm… tapi tetap saja bakal terasa berat karena perjalanan bukan seperti pendaki pada umumnya yang bisa berlama lama istirahat. perjalanan kami lakukan secara tik-tok. Tik tok yang berasal dari bahasa inggris, take top adalah mendaki gunung tanpa berlama lama di puncak, setelah sampai di puncak langsung bergegas turun kembali.
Tetapi Jalur wekas cukup nyaman kok daripada jalur Cuntel, Thekelan atau Selo, terutama bagi pendaki yang baru pertama kali ke merbabu seperti saya. Kenapa? karena persediaan air melimpah, pohon pinus dan cemara yang menjulang tinggi sangat memanjakan mata. Pepohonan begitu rimbun meneduhkan langkah kaki dan meredam detak jangtung yang mulai berdebar kencang.
Jalurnya memang sejuk, tapi sebuah masker dibutuhkan untuk menyaring udara. Debu debu halus walaupun hanya hentakan kaki, debu menyumbul dengan mudahnya mengotori udara, lalu masuk ke hidung atau melekat di langit langit mulut bila lubang pernafasan tidak ditutupi. Belum lagi saat tubuh menyesuaikan diri dengan udara merbabu, hidung akan terasa pengar, bersin bersin dan meleleh. Tenang, bisa disiasati dengan menjaga jarak pendaki.
"pace, puncak su dekat" Tony memanggil saya dengan logat timurnya (pace adalah panggilan untuk laki laki di papua, kalau di semarang sama dengan Mas). Hahaha... inilah kalimat ajaib yang mampu membuat senyum merekah dan meletupkan semangat untuk kembali melanjutkan perjalanan. Sebagai bahan bercandaan, terkadang kalau ketemu air, secara reflek langsung bilang "sumber air su dekat," mirip iklan air mineral. Dan ajaibnya, semangat kembali full seperti batere handphone yang di charging.
Ketiga teman saya; Yafeth, Dany dan Tony menunggu saya di pos 4, sedangkan Herry sepertinya masih jauh di belakang mengatur langkah, sedangkan Dhave yang biasa sarapan lari 5-10km tiap pagi, mungkin sudah sampai di puncak, makan wafer atau foto foto di puncak pakai lensa fish eye. Edan! Itu orang apa alien? Bhahaha.
Di taman yang lumayan lapang ini, ketinggiannya sekitar 2000mdpl biasa dimanfaatkan pendaki untuk mendirikan tenda dan menitipkan barang barang di dalamnya. Tapi harap waspada, jaga barang berharga milik anda di sini.
Angin bertambah kencang dan dingin. Matahari yang terik pun tak mampu menyamarkan dingin. Saya berlindung dibawah pepohonan sebentar, menghangatkan diri dengan menanggalkan baju dalam yang basah dan mengenakan jaket parasit.
Puncak puncak merbabu sudah nampak, dari sebelah kiri saya bisa melihat Puncak Watu Tulis dengan pemancar sebagai penandanya, Puncak Kukusan berada di tengah lembah, Puncak Syarif dan Kenteng Songo juga nampak di pucuk.
Terlalu lama beristirahat malah akan menyiksa otot kaki, waktu pun banyak terbuang, karena perjalanan selanjutnya akan lebih berat. Tanjakan berbatu, alang-alang, pasir dan kawah belerang sudah menunggu di depan. Oiya, banyak sekali bunga abadi edelweis yang tumbuh di kiri dan kanan. menghiasi jalan setapak yang berdebu di akhir bulan Agustus.
"ayo petiklah slam! Petiklah bunga edelweis yang cantik itu" ada bisikan bisikan yang menggoda untuk memetik bunga simbol keabadian itu. Sepasang tangan yang mengkerut kedinginan pun mendadak gatal. Rasanya, ingin sekali memetik sekuntum saja sebagai cindera mata untuk Mbak Pacar tercinta. Tapi...ahh sudahlah... (masukin tangan ke celana). Sebagai pendaki kita tidak boleh mengambil apapun selain gambar.
Sampailah di watu tulis, yaitu pertemuan jalur Cuntel dan Thekelan. Ular phyton mulai beringas di perut saya dan mengeluarkan bunyi, "krucuk krucuk." Pertanda saya kelaparan. Sepertinya angin yang semakin kencang dan udara dingin cepat menguras tenaga dan kalori tubuh.
HAH! dan apa-apaan pemandangan tak senonoh di depan saya ini? Sekitar 50 meter di tempat saya berdiri, Tony dan Dany dengan brutalnya mengunyah roti tawar di atas batu besar. Saya hanya bisa memandang dan menelan ludah, karena yang tersisa di dalam tas hanya permen karet dan tolak angin saja (hadeeeh, geleng geleng, kerongkongan seret). ALAMAK! Saya melakukan kesalahan fatal lagi, seharusnya kebutuhan pokok seperti minum dan makanan harus di bawa sendiri, bukan malah dititipkan ke Dhave. Harusnya saya sadar sejak dari awal, kalau alam kita sudah berbeda.
Runners, Pesanya adalah jangan menggantungkan kebutuhan pribadi kepada orang lain. Selain memberatkan beban kawan, juga bisa merepotkan diri sendiri. Contohnya, ketika melapar seperti ini.
Di depan mata, Jembatan setan yang panjang terjal berbatu dan gundukan Geger sapi terlihat jelas, jaraknya sekitar 200 meter jadi tantangan selanjutnya.
"HMMM…AAAHHHH..." saya menarik nafas dalam dalam, mengumpulkan tenaga dan mulai melangkah dengan jari kaki yang mulai perih dan lecet. Saya ingatkan lagi, sandal gunung itu kurang nyaman untuk mendaki. Di tengah jalan saya berpapasan dengan Dhave yang melompat-lompat turun menapaki batu seperti kambing gunung. Kurang waras orang ini! batin saya sewot. Sungguh, saya iri dengannya yang lari di gunung sudah seperti menari balet saja.
"puncak sedikit lagi kok, kalau gak kuat jangan dipaksakan! Ingat dengkul mas!" katanya mengingatkan. Sepertinya dia tau kalau ada yang tidak beres dengan kaki saya.
"hah, sudah sampai sejauh ini kok balik kanan! Malu dong sama monyet yang berkeliaran di pos 4" jawab saya sedikit gengsi. Padahal, kalau mau jujur, dengkul saya ini sudah terasa senut-senut.
"bhahaha... oke, saya tunggu di bawah Pemancar Watu Tulis, Mas. Kalau ada barang yang mau dititipkan sini saya bawakan" Dhave menawarkan bantuan.
"gak usah mas" sahut saya. "tolong wafernya jangan dihabiskan" saya nyengir, lalu melanjutkan langkah.
"Puncak su dekat" Kali ini saya yang mengucapkan kalimat ajaib itu sebagai penyemangat. Tinggal melewati punggungan panjang dan tanjakan vertikal yang terjal berbatu disebut Ondo Rante. Saya harus bergumul dengan debu hitam, memanjat, berpelukan dengan tebing dan mencari pegangan batu yang stabil atau akar pohon untuk melalui tebing Ondo Rante. di sini saya berpapasan dengan Wetipo, rupaya dia sudah mau turun.
Ujung Ondo Rante sebelum puncak Kenteng Songo, tebing curam ini harus dilalui dengan hati hati, saya melaluinya dengan ngesot. Kalau terpeleset bisa fatal akibatnya. Di ujungnya tanah berwarna agak hitam, gembur dan panas menyerap sinar matahari. Nah di sini pula celana saya bolong, karena iseng plorotan dan mainan debu.
Akhirnya sampai juga di pucuk Kenteng Songo Gunung Merbabu 3.142mdpl. Apa yang saya rasakan sangat sulit diungkapkan dengan kata kata. Mendadak kadar narsis dan lebay melebihi ambang batas kewajaran kalau sudah sampai puncak seperti ini, jadi harap maklum, ya. Nama Kenteng Songo sendiri dihubungkan dengan adanya batu kenteng berjumlah sembilan, bentuknya bulat dengan lobang ditengah, namun sekarang sudah tidak utuh, banyak coretan dan ada yang hilang oleh tangan jahil.
Sakit di kaki kiri yang tadinya keram dan harus diseret karena tertarik di Ondo Rante hilang dalam sekejap setibanya di puncak Kenteng Songo. Saya melambai ke Toni dan Dany, memberi kode supaya menunggu sebentar. Asalan sebenarnya supaya ada yang fotoin, soalnya belum booming istilah selfie. Malu teriak, karena di puncak sudah ramai pendaki. Iya ramai sekali. ada yang romantis di pojokan, ada yang serius 1 kompi mahasiswa upacara di atas memakai toga, mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu syukur. ada juga yang sempat membawa nasi kuning buat dimakan di puncak (yaelah... mba). Lalu saya ngapain? Saya sibuk mencari kupluk penutup jidat yang jatuh entah dimana.
Bisa dikatakan separuh Gunung di Jawa Tengah bisa terlihat dari sini, pucuk pucuk gunung menyumbul dengan keunikannya masing masing. Menengok ke arah utara, saya bisa melihat puncak Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dataran tinggi Dieng, Gunung Andong, Gunung Telomoyo dan Gunung ungaran. Sedangkan bila saya menengok ke barat, saya melihat kokohnya Gunung merapi yang masih aktif.
Inilah alasannya mengapa saya cinta lari dan gunung gunung di Jawa Tengah. Anyway, Ngobrol soal wisata pegunungan, Jawa Tengah memiliki banyak sekali Potensi Wisata Pegunungan yang membentang dari timur hingga ke barat seperti Gunung Slamet sebagai gunung tertinggi Jawa Tengah. Gunung Perahu, gunung pendek dengan view sunrise yang indah menyinari gunung Sindoro dan Sumbing. Dieng, Bukit Sikunirnya membuai para pemburu pagi. Gunung Ungaran, gunung untuk pemula namun penuh misteri. Gunung Merapi, Gunung Muria di Kudus dan tentunya Gunung Merbabu yang sedang saya daki ini. Tiap gunung memiliki keunikannya masing masing, dan Merbabu termasuk yang unik sekaligus indah, menurut saya.
Saya cukupkan waktu untuk menikmati suasana puncak merbabu, berlari kesana kemari memuaskan diri dengan memotret keindahan alam Gunung Merbabu dengan kamera hape 2 mega pecel yang baterainya hampir sekarat, lalu turun kembali.
Perjalanan 5.76 kilometer menuju puncak dari Jalur Wekas dengan waktu tempuh 3 jam lebih. Di puncak cuma 15 menit, karena matahari sudah tidak bersahabat, tengkuk dan ubun ubun mulai menguap karena tak terlindungi.
Nah perjalanan turun Merbabu lewat Jalur Cuntel inilah yang bakal bikin greget, gemetar dan menyakitkan bagi sepasang kaki berbentuk ‘O’ dengan sandal gunung laknat. Oh ya, kamu minumnya sudah habis belum? kalau habis silakan diisi lagi yak! terus balik baca lagi. bhehehe
"HEY TONY MATHEO TAKAEB… sepertinya kamu harus dikasi pelajaran soal navigasi di gunung!!!"
mungkin ada benarnya juga yang bilang "naik itu susah, giliran turunnya lebih susah". Coba bayangkan, ketika kamu sedang terbuai pesona puncak Kenteng Songo Gunung Merbabu setelah hampir 4 jam perjalanan yang tidak mudah, dengan cepatnya kenikmatan itu kandas, karena secepatnya harus turun gunung, diperparah tanpa adanya cadangan air dan isi perut yang mulai protes kelaparan. Serius! Ini lebih parah daripada melihat mantan yang jadian sama teman sendiri. serius dah!
Kulit ari, kulit terluar kaki jari jari saya jebol. Akhirnya kulit jari jempol dan kelingking kaki kanan dan kiri mengelupas setelah menuruni Kenteng Songo. Jalur menurun sejauh 1 kilometer yang berbatu, bepasir dan berdebu memberikan tekanan yang berlebih pada lutut dan kaki. Kulit kaki terluar yang tanpa pelindung tidak kuat lagi menahan gesekan plastik keras dari sandal gunung. Setiap langkah kaki adalah sebuah siksaan. Plester pun tidak banyak membantu, mau telanjang kaki juga bakal tambah parah. Mau nekat?
Sampai di pemancar, persimpangan jalur Cuntel dan Thekelan tempat meeting point, saya langsung lepas sendal dan cari pengganjal perut. Wafer rasa strobery di ransel Dhave setengahnya langsung lenyap, lumer dalam kunyahan mulut dan larut di usus saya. Sedangkan Wetipo yang hanya memakai kaos buntung nampak sedang berjemur dibawah sinar ultra violet.
"biar hangat mas" katanya meringis. "orang papua itu kulitnya tahan panas mas slam!".
"Terserah pace saja, kalau pace bahagia, saya juga ikut bahagia" sahut saya sambil meluruskan kaki di bawah pohon. Saya paham, kalau di papua tempat asalnya sana lebih dingin dari ini.
Dan keesokan harinya, baru nampak efek sinar ultraviolet, kulitnya yang gelap, kini berubah jadi kemerahan.
Jalur Cuntel sejauh 7 kilometer diawali dengan menuruni tanah kering yang panas dan dikelilingi ilalang. Saya tambal lagi jari jari kaki, sengaja dirangkap dua untuk penahan gesekan, namun tetap saja lepas karena perekatnya kalah oleh ganasnya terpaan debu. Terpaksa jalan pelan sambil menikmati perih di tiap gesekannya.
Saya ingatkan bagi pendaki atau pelari bercelana kolor, jangan main plorotan diatas rumput ilalang walaupun itu nampak begitu mengasyikkan. Tahu-tahu pantat dan paha kamu sudah perih, lecet atau sobek. Ilalang itu setajam silet jendral! (elus elus slebor)
Sampai di pos 4 Cuntel (anggap saja begitu). Rumput berduri dan ilalang tumbuh subur di kanan kiri jalan setapak, bahkan jalur hampir hilang karena tertutup ilalang, ditambah lagi banyakanya percabangan dapat membuat kita tersesat.
Saya dan Tony tertinggal karena berjalan lambat, kami berusaha mencari jejak dengan bertanya ke pendaki yang naik "tadi lihat 3 orang turun pakai baju hijau?"
Namun mereka cuma geleng-geleng tidak yakin.
Lalu saya mengajukan pertanyaan yang lebih spesifik "ada 2 orang papua yang turun pakai celana kolor?"
"OH, IYA. TADI LEWAT SINI, MAS" jawabnya begitu yakin sambil menunjukkan arah. Ternyata kata 'Papua' dan 'celana kolor' jadi kata kunci sekaligus barang bukti ciri-ciri otentik untuk mengidentifikasi jika mereka tersesat atau hilang.
Akhirnya sandal gunung saya lepas walaupun kaki harus rela berpanas panas ria di permukaan tanah. Terasa lebih nyaman. Setidaknya, saya tidak merasa ditusuk jarum tiap kaki melangkah karena sandal sialan ini. Tony Matheo Takaeb yang mungkin berniat baik memberi penanda arah jalan malah bikin perkara. CELAKALAH SAYA. Dia malah menyebar ranjau berupa ranting berduri di tiap 6 meter.
HEEEY TONY!! DURI ITU TAJAM DAN MENUSUK!" taukah kau Tony? duri itu tidak seempuk remahan wafer atau roti tawar! Gerutu saya dalam hati. Rasanya gemes pengen jorokin Tony dari pucuk Kenteng Songo langsung ke kawah Merbabu. Akibatnya saya melanjutkan perjalanan seperti main game mario bross yang melompati halang rintang berupa ranting berduri.
"lhoh kok nyeker mas?" sapa penyemangat sekaligus bikin kesel dari pendaki lain setiap kali berpapasan dari bawah.
"hahaha pokoknya salahkan Tony!". jawab saya pelan dan sambil lalu. Berharap mereka tidak mendengar nada setengah mengumpat dari mulut manusia nyeker yang sedang sebal ini. Saya terus jalan terpincing-pincing sampai di Desa Cuntel.
7.3 kilometer dengan waktu tempuh 3 jam menuruni jalur Cuntel di bayar lunas dengan telo rebus, teh hangat, air es alami yang dingin untuk mandi di Camp Cuntel, dan senyuman ramah tuan rumah. Lalu ketika senja tiba, kami menikmati pemandangan tenggelamnya matahari dibalik gunung Sindoro Sumbing sambil mencari salah satu teman kami yang belum sampai juga. Mencarinya di POS Cuntel, siapa tau dia kesasar di sana.
Ada seorang kawan yang tertinggal. Herry, pria tinggi jangkung yang jambangnya rimbun itu ternyata baru pertama kali naik gunung. Ditunggu sampai sore belum kelihatan juga bulu dengkulnya. Kami berspekulasi, mungkin dia sedang digembleng oleh alam Merbabu, mungkin diculik oleh Danyang penunggu Gunung Merbabu atau mungkin tersesat. Fantasi kami mendadak jadi aneh-aneh. 1 jam, 2 jam, 3 jam kami menunggu di persimpangan jalur turun cuntel sampai langit gelap. Akhirnya dari kejauhan ada kilatan cahaya dari gigi Herry yang meringis kesakitan. Dia nampak jalan pincang dan tergopoh-gopoh memakai tongkat dari dahan pohon.
Kami memapah Herry sampai ke Pos Cuntel rumah milik Pak Tono. Yafeth Wetipo sebagai teman kampusnya mengurut dan mengompes kaki herry sambil terus tertawa. Bhahaha, Sepertinya teman kita satu ini punya cerita yang lebih seru dan penuh kejutan daripada yang lain waktu turun merbabu. Semalaman kami terus tertawa gak jelas karena peristiwa itu, hingga kami ketiduran. #thanksHery
Kemudian pada hari itu saya berikrar kepada diri sendiri. Saya bakal beli sepatu trail yang cocok dan nyaman untuk naik gunung. Nanti, ketika naik gunung gunung indah yang lebih menantang di Jawa Tengah, say no to Sandal! pakailah sepatu. Buat kamu yang gemar lari dan ingin mencoba alternatif track baru, merbabu bisa jadi track yang menarik untuk Trailrunning. Tunggu saya pegunungan Jawa Tengah #okesip #jambakTony.
Foto credit to : Dhave dan kamera 2 mega pecel G502 yg sudah pensiun
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog “Blog Competition #TravelNBlog 3“ yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID.
Wahaha... ceritanya bakalan panjang nih. Jadi siapkan minuman dan cemilan yak *senyum ramah*
Dhave bilang kalau jalur Wekas adalah jalur terpendek menuju ke merbabu. FYI, Dhave ini adalah Ahli microbiologi dari Salatiga yang terperangkap dalam dunia fotografi. Dialah orang sudah mencuci otak saya, menjejalinya dengan segala tantangan dan kejutan-kejutan gila nanmenyenangkan tentang lari di gunung, lebih populer dengan sebutan Trail Running atau Mount Trail.
Pada dasarnya Trail Running adalah olah raga lari yang mengambil jalur pendakian gunung sebagai track-nya. Olah raga ini membutuhkan stamina dan daya tahan tubuh yang maksimal, selain itu pelari juga membutuhkan pengetahuan dasar pedakian dan pemahaman navigasi bila tidak ingin tersesat.
Wekas. Di sini lah kisah pendakian kami mulai. Wekas adalah desa paling terakhir sekaligus tempat pos pendataan bagi para pendaki. Dari jalan raya, kami memilih untuk naik ojek untuk mempersingkat waktu dan tenaga. Jarak 3.4km ditempuh hanya 15 menit melewati jalan Taman Nasional Gunung Merbabu yang cukup menegangkan.
CENGLU YANG MENEGANGKAN! Cenglu dalam bahasa semarangan berarti 1 motor dinaiki 3 orang, dengan formasi tukang ojek sebagai striker, saya gelandang, dan Dany sebagai penjaga gawang. Rem seakan tidak difungsikan, yang ada hanya gas, gas, meliuk dan tarik gas lagi. Sungguh kolaborasi yang epic. Motor laki yang tangguh dan tukang ojek yang sudah khatam medan tempur, mungkin dia juga sudah hafal dimana dan tau berapa jumlah lubangnya. Alhamdulilah organ tubuh masih utuh sampai di pos.
![]() |
POS 1 Wekas (dari kiri) Dany, Saya, Tony, Herry, Yafeth Wetipo, Dhave |
Saya tidak memakai sepatu. Saya hanya menyelipkan kedua kaki pada sandal gunung, yang saya pikir cukup nyaman untuk melakukan pendakian. Ternyata salah. Salah besar! Jadi, runners, ini merupakan pelajaran, pakai lah sepatu yang nyaman saat trailrunning, atau kakimu akan kering, kaku, kotor dan luka. Namun beda lagi bila kamu punya ceker sakti.
Berkat pengalaman menyakitkan di merbabu inilah, nantinya saya tidak lagi memakai sandal untuk naik gunung. Selain sepatu, saya juga lupa membawa sarung tangan, penutup kepala dan masker. Namun ada hal yang lebih penting untuk disiapkan, yaitu fisik. saya sama sekali tidak joging atau basket setelah kemarin libur panjang. Tabrak aja dulu deh! "bismillah" semoga kuat dan perjalanan lancar.
Di atas kertas, jarak menuju puncak hanya 5.76 kilometer kalau dari Wekas, hmm… tapi tetap saja bakal terasa berat karena perjalanan bukan seperti pendaki pada umumnya yang bisa berlama lama istirahat. perjalanan kami lakukan secara tik-tok. Tik tok yang berasal dari bahasa inggris, take top adalah mendaki gunung tanpa berlama lama di puncak, setelah sampai di puncak langsung bergegas turun kembali.
Tetapi Jalur wekas cukup nyaman kok daripada jalur Cuntel, Thekelan atau Selo, terutama bagi pendaki yang baru pertama kali ke merbabu seperti saya. Kenapa? karena persediaan air melimpah, pohon pinus dan cemara yang menjulang tinggi sangat memanjakan mata. Pepohonan begitu rimbun meneduhkan langkah kaki dan meredam detak jangtung yang mulai berdebar kencang.
Jalurnya memang sejuk, tapi sebuah masker dibutuhkan untuk menyaring udara. Debu debu halus walaupun hanya hentakan kaki, debu menyumbul dengan mudahnya mengotori udara, lalu masuk ke hidung atau melekat di langit langit mulut bila lubang pernafasan tidak ditutupi. Belum lagi saat tubuh menyesuaikan diri dengan udara merbabu, hidung akan terasa pengar, bersin bersin dan meleleh. Tenang, bisa disiasati dengan menjaga jarak pendaki.
"pace, puncak su dekat" Tony memanggil saya dengan logat timurnya (pace adalah panggilan untuk laki laki di papua, kalau di semarang sama dengan Mas). Hahaha... inilah kalimat ajaib yang mampu membuat senyum merekah dan meletupkan semangat untuk kembali melanjutkan perjalanan. Sebagai bahan bercandaan, terkadang kalau ketemu air, secara reflek langsung bilang "sumber air su dekat," mirip iklan air mineral. Dan ajaibnya, semangat kembali full seperti batere handphone yang di charging.
Ketiga teman saya; Yafeth, Dany dan Tony menunggu saya di pos 4, sedangkan Herry sepertinya masih jauh di belakang mengatur langkah, sedangkan Dhave yang biasa sarapan lari 5-10km tiap pagi, mungkin sudah sampai di puncak, makan wafer atau foto foto di puncak pakai lensa fish eye. Edan! Itu orang apa alien? Bhahaha.
![]() |
Pos 4 Jalur Wekas, Gunung Merbabu |
Angin bertambah kencang dan dingin. Matahari yang terik pun tak mampu menyamarkan dingin. Saya berlindung dibawah pepohonan sebentar, menghangatkan diri dengan menanggalkan baju dalam yang basah dan mengenakan jaket parasit.
Puncak puncak merbabu sudah nampak, dari sebelah kiri saya bisa melihat Puncak Watu Tulis dengan pemancar sebagai penandanya, Puncak Kukusan berada di tengah lembah, Puncak Syarif dan Kenteng Songo juga nampak di pucuk.
Terlalu lama beristirahat malah akan menyiksa otot kaki, waktu pun banyak terbuang, karena perjalanan selanjutnya akan lebih berat. Tanjakan berbatu, alang-alang, pasir dan kawah belerang sudah menunggu di depan. Oiya, banyak sekali bunga abadi edelweis yang tumbuh di kiri dan kanan. menghiasi jalan setapak yang berdebu di akhir bulan Agustus.
"ayo petiklah slam! Petiklah bunga edelweis yang cantik itu" ada bisikan bisikan yang menggoda untuk memetik bunga simbol keabadian itu. Sepasang tangan yang mengkerut kedinginan pun mendadak gatal. Rasanya, ingin sekali memetik sekuntum saja sebagai cindera mata untuk Mbak Pacar tercinta. Tapi...ahh sudahlah... (masukin tangan ke celana). Sebagai pendaki kita tidak boleh mengambil apapun selain gambar.
Sampailah di watu tulis, yaitu pertemuan jalur Cuntel dan Thekelan. Ular phyton mulai beringas di perut saya dan mengeluarkan bunyi, "krucuk krucuk." Pertanda saya kelaparan. Sepertinya angin yang semakin kencang dan udara dingin cepat menguras tenaga dan kalori tubuh.
HAH! dan apa-apaan pemandangan tak senonoh di depan saya ini? Sekitar 50 meter di tempat saya berdiri, Tony dan Dany dengan brutalnya mengunyah roti tawar di atas batu besar. Saya hanya bisa memandang dan menelan ludah, karena yang tersisa di dalam tas hanya permen karet dan tolak angin saja (hadeeeh, geleng geleng, kerongkongan seret). ALAMAK! Saya melakukan kesalahan fatal lagi, seharusnya kebutuhan pokok seperti minum dan makanan harus di bawa sendiri, bukan malah dititipkan ke Dhave. Harusnya saya sadar sejak dari awal, kalau alam kita sudah berbeda.
Runners, Pesanya adalah jangan menggantungkan kebutuhan pribadi kepada orang lain. Selain memberatkan beban kawan, juga bisa merepotkan diri sendiri. Contohnya, ketika melapar seperti ini.
![]() |
Pemancaar, Puncak watu tulis, Jembatan setan dan Geger sapi, foto diambil dari atas |
"HMMM…AAAHHHH..." saya menarik nafas dalam dalam, mengumpulkan tenaga dan mulai melangkah dengan jari kaki yang mulai perih dan lecet. Saya ingatkan lagi, sandal gunung itu kurang nyaman untuk mendaki. Di tengah jalan saya berpapasan dengan Dhave yang melompat-lompat turun menapaki batu seperti kambing gunung. Kurang waras orang ini! batin saya sewot. Sungguh, saya iri dengannya yang lari di gunung sudah seperti menari balet saja.
"puncak sedikit lagi kok, kalau gak kuat jangan dipaksakan! Ingat dengkul mas!" katanya mengingatkan. Sepertinya dia tau kalau ada yang tidak beres dengan kaki saya.
"hah, sudah sampai sejauh ini kok balik kanan! Malu dong sama monyet yang berkeliaran di pos 4" jawab saya sedikit gengsi. Padahal, kalau mau jujur, dengkul saya ini sudah terasa senut-senut.
"bhahaha... oke, saya tunggu di bawah Pemancar Watu Tulis, Mas. Kalau ada barang yang mau dititipkan sini saya bawakan" Dhave menawarkan bantuan.
"gak usah mas" sahut saya. "tolong wafernya jangan dihabiskan" saya nyengir, lalu melanjutkan langkah.
![]() |
Geger Sapi |
![]() |
Ondo Rante |
![]() |
Ondo Rante, saya sempat main plorotan di sini sampai celana kolor bolong |
![]() |
Puncak Kenteng Songo dengan Background Gunung Merapi |
![]() |
Watu Kenteng |
![]() |
Pemandangan dari puncak Kenteng Songo Merbabu |
Inilah alasannya mengapa saya cinta lari dan gunung gunung di Jawa Tengah. Anyway, Ngobrol soal wisata pegunungan, Jawa Tengah memiliki banyak sekali Potensi Wisata Pegunungan yang membentang dari timur hingga ke barat seperti Gunung Slamet sebagai gunung tertinggi Jawa Tengah. Gunung Perahu, gunung pendek dengan view sunrise yang indah menyinari gunung Sindoro dan Sumbing. Dieng, Bukit Sikunirnya membuai para pemburu pagi. Gunung Ungaran, gunung untuk pemula namun penuh misteri. Gunung Merapi, Gunung Muria di Kudus dan tentunya Gunung Merbabu yang sedang saya daki ini. Tiap gunung memiliki keunikannya masing masing, dan Merbabu termasuk yang unik sekaligus indah, menurut saya.
Saya cukupkan waktu untuk menikmati suasana puncak merbabu, berlari kesana kemari memuaskan diri dengan memotret keindahan alam Gunung Merbabu dengan kamera hape 2 mega pecel yang baterainya hampir sekarat, lalu turun kembali.
Perjalanan 5.76 kilometer menuju puncak dari Jalur Wekas dengan waktu tempuh 3 jam lebih. Di puncak cuma 15 menit, karena matahari sudah tidak bersahabat, tengkuk dan ubun ubun mulai menguap karena tak terlindungi.
Nah perjalanan turun Merbabu lewat Jalur Cuntel inilah yang bakal bikin greget, gemetar dan menyakitkan bagi sepasang kaki berbentuk ‘O’ dengan sandal gunung laknat. Oh ya, kamu minumnya sudah habis belum? kalau habis silakan diisi lagi yak! terus balik baca lagi. bhehehe
---@---
![]() |
Iya, semangat membara menuruni Cuntel |
mungkin ada benarnya juga yang bilang "naik itu susah, giliran turunnya lebih susah". Coba bayangkan, ketika kamu sedang terbuai pesona puncak Kenteng Songo Gunung Merbabu setelah hampir 4 jam perjalanan yang tidak mudah, dengan cepatnya kenikmatan itu kandas, karena secepatnya harus turun gunung, diperparah tanpa adanya cadangan air dan isi perut yang mulai protes kelaparan. Serius! Ini lebih parah daripada melihat mantan yang jadian sama teman sendiri. serius dah!
Kulit ari, kulit terluar kaki jari jari saya jebol. Akhirnya kulit jari jempol dan kelingking kaki kanan dan kiri mengelupas setelah menuruni Kenteng Songo. Jalur menurun sejauh 1 kilometer yang berbatu, bepasir dan berdebu memberikan tekanan yang berlebih pada lutut dan kaki. Kulit kaki terluar yang tanpa pelindung tidak kuat lagi menahan gesekan plastik keras dari sandal gunung. Setiap langkah kaki adalah sebuah siksaan. Plester pun tidak banyak membantu, mau telanjang kaki juga bakal tambah parah. Mau nekat?
![]() |
Telanjang kaki, alias nyeker |
"biar hangat mas" katanya meringis. "orang papua itu kulitnya tahan panas mas slam!".
"Terserah pace saja, kalau pace bahagia, saya juga ikut bahagia" sahut saya sambil meluruskan kaki di bawah pohon. Saya paham, kalau di papua tempat asalnya sana lebih dingin dari ini.
Dan keesokan harinya, baru nampak efek sinar ultraviolet, kulitnya yang gelap, kini berubah jadi kemerahan.
![]() |
Tempat Plorotan saya |
Saya ingatkan bagi pendaki atau pelari bercelana kolor, jangan main plorotan diatas rumput ilalang walaupun itu nampak begitu mengasyikkan. Tahu-tahu pantat dan paha kamu sudah perih, lecet atau sobek. Ilalang itu setajam silet jendral! (elus elus slebor)
Sampai di pos 4 Cuntel (anggap saja begitu). Rumput berduri dan ilalang tumbuh subur di kanan kiri jalan setapak, bahkan jalur hampir hilang karena tertutup ilalang, ditambah lagi banyakanya percabangan dapat membuat kita tersesat.
Saya dan Tony tertinggal karena berjalan lambat, kami berusaha mencari jejak dengan bertanya ke pendaki yang naik "tadi lihat 3 orang turun pakai baju hijau?"
Namun mereka cuma geleng-geleng tidak yakin.
Lalu saya mengajukan pertanyaan yang lebih spesifik "ada 2 orang papua yang turun pakai celana kolor?"
"OH, IYA. TADI LEWAT SINI, MAS" jawabnya begitu yakin sambil menunjukkan arah. Ternyata kata 'Papua' dan 'celana kolor' jadi kata kunci sekaligus barang bukti ciri-ciri otentik untuk mengidentifikasi jika mereka tersesat atau hilang.
Akhirnya sandal gunung saya lepas walaupun kaki harus rela berpanas panas ria di permukaan tanah. Terasa lebih nyaman. Setidaknya, saya tidak merasa ditusuk jarum tiap kaki melangkah karena sandal sialan ini. Tony Matheo Takaeb yang mungkin berniat baik memberi penanda arah jalan malah bikin perkara. CELAKALAH SAYA. Dia malah menyebar ranjau berupa ranting berduri di tiap 6 meter.
HEEEY TONY!! DURI ITU TAJAM DAN MENUSUK!" taukah kau Tony? duri itu tidak seempuk remahan wafer atau roti tawar! Gerutu saya dalam hati. Rasanya gemes pengen jorokin Tony dari pucuk Kenteng Songo langsung ke kawah Merbabu. Akibatnya saya melanjutkan perjalanan seperti main game mario bross yang melompati halang rintang berupa ranting berduri.
"lhoh kok nyeker mas?" sapa penyemangat sekaligus bikin kesel dari pendaki lain setiap kali berpapasan dari bawah.
"hahaha pokoknya salahkan Tony!". jawab saya pelan dan sambil lalu. Berharap mereka tidak mendengar nada setengah mengumpat dari mulut manusia nyeker yang sedang sebal ini. Saya terus jalan terpincing-pincing sampai di Desa Cuntel.
![]() |
Sunset di Pos Cuntel Gunung Merbabu |
Ada seorang kawan yang tertinggal. Herry, pria tinggi jangkung yang jambangnya rimbun itu ternyata baru pertama kali naik gunung. Ditunggu sampai sore belum kelihatan juga bulu dengkulnya. Kami berspekulasi, mungkin dia sedang digembleng oleh alam Merbabu, mungkin diculik oleh Danyang penunggu Gunung Merbabu atau mungkin tersesat. Fantasi kami mendadak jadi aneh-aneh. 1 jam, 2 jam, 3 jam kami menunggu di persimpangan jalur turun cuntel sampai langit gelap. Akhirnya dari kejauhan ada kilatan cahaya dari gigi Herry yang meringis kesakitan. Dia nampak jalan pincang dan tergopoh-gopoh memakai tongkat dari dahan pohon.
Kami memapah Herry sampai ke Pos Cuntel rumah milik Pak Tono. Yafeth Wetipo sebagai teman kampusnya mengurut dan mengompes kaki herry sambil terus tertawa. Bhahaha, Sepertinya teman kita satu ini punya cerita yang lebih seru dan penuh kejutan daripada yang lain waktu turun merbabu. Semalaman kami terus tertawa gak jelas karena peristiwa itu, hingga kami ketiduran. #thanksHery
![]() |
Pagi harinya kami pulang lewat kopeng |
Foto credit to : Dhave dan kamera 2 mega pecel G502 yg sudah pensiun
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog “Blog Competition #TravelNBlog 3“ yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID.