Seorang ibu muda berlari kencang mengejar bis yang berjalan merambatdi depan halte di daerah Kebon Nanas, Tangerang, Banten. Saatberlari, ia tidak sendiri. Ia menggendong anaknya yang masih berusiasatu tahun. Pundak kecilnya juga masih harus dibebani dengan sekotakalat musik karaoke. Dua beban yang tak menyurutkan laju kencangnyamengejar bis kota , sayangnya bis besar itu hanya menyisakan kepulanasap hitam di wajah wanita pengamen itu.
Si kecil yang digendongnya, hanya bisa menutup mata untukmenghindari kepulan asap yang memerihkan mata. Ia, sungguh takkanpernah mengerti sebab apa dibawa berlari mengejar satu bis ke bislainnya. Ia, juga takkan pernah memahami, setiap kali ibunyabernyanyi di depan puluhan pasang mata di dalam bis kota . Yang iatahu hanyalah, terik matahari, atau derasnya hujan, debu jalanan,asap knalpot, aroma bis kota , tatapan iba, dan juga makianpenumpang yang terganggu oleh hingar musik ibunya. Semua itu menjadisahabat sehari-hari si kecil.
Lain lagi dengan pemandangan di Pasar pagi Cikokol, Tangerang,Banten. Pukul 02.00 dini hari, seorang anak berusia tidak lebih tigatahun terlelap di tengah pasar. Berselimut angin malam, bertemanaroma pasar, si kecil tertidur ditemani hiruk pikuk para aktorpasar; penjual dan pembeli. Sesekali mimpinya tergugah oleh klaksonmobil, matanya terbuka melihat sekejap sang ibu yang sibuk melayanipembeli. Kemudian terlelap kembali merajut mimpi indahnya.
Anak pasar itu -kalau boleh disebut begitu- tak pernah tahu sebabapa ibunya menyertakannya dalam aktivitas di pasar dini hari itu. Iatak pernah benar-benar mengerti kenapa dirinya berada di tengah-tengah tumpukan cabai, bawang, tomat dan sayuran setiap pagi danmelihat transaksi jual beli yang dilakukan ibunya. Saat terbangundan menemani ibunya, cabai, bawang, tomat itulah sahabatnya. Anginpagi yang menusuk menjadi selimutnya, dan aroma tak sedap pasarbecek lah yang kerap mengakrabinya.
Di tempat yang berbeda. Seorang ibu di Bogor naik turun KRL (keretaapi listrik) menggendong anaknya yang cacat mental dan fisik,padahal si anak sudah berusia belasan tahun. Anak yang takkan pernahmengerti itu, benar-benar tidak tahu, sebab apa ibunya relamenanggung malu mengemis belas kasih dari penumpang kereta. Si anakjuga tak pernah bertanya, “beratkah ibu menggendong saya?”
Masih di kereta yang sama, seorang ibu lainnya menggendong anaknyayang berusia tiga tahun. Si kecil yang lucu dan ramah itu, hanyamemiliki sebelah tangan. Ia tak dianugerahi tangan kiri dan dua kakisaat terlahir ke dunia ini. Anak itu, tak pernah memahami kenapa disetiap menit selalu ada tetes air mata di sudut mata ibunya. Sikecil selalu tersenyum, meski air muka ibunya tak pernah menyiratkanbahagia. Senyum sang ibu kerap dipaksakan di depan para penumpangkereta, demi sekeping receh yang diharapnya.
***
Anak-anak itu, memang belum akan mengerti sebab apa ibunya mengejarbis kota , mengakrabi malam di pasar, dan menyusuri gerbong demigerbong kereta api. Yang mereka tahu hanyalah, mereka tak pernahjauh dari ibunya. Yang mereka rasakan adalah kecupan di kening danwajah setiap kali sang ibu berkesah tak mendapatkan rezeki. Bahasakalbu ibu berkata, “sebab cinta, ibu melakukan semua ini nak”.
Sungguh, jika tak karena cinta, langkahnya sudah terhenti. Cintalahyang mengajarkannya untuk menghapus kata “lelah” dan “putus asa”dalam kamus hidup seorang ibu.
Si kecil yang digendongnya, hanya bisa menutup mata untukmenghindari kepulan asap yang memerihkan mata. Ia, sungguh takkanpernah mengerti sebab apa dibawa berlari mengejar satu bis ke bislainnya. Ia, juga takkan pernah memahami, setiap kali ibunyabernyanyi di depan puluhan pasang mata di dalam bis kota . Yang iatahu hanyalah, terik matahari, atau derasnya hujan, debu jalanan,asap knalpot, aroma bis kota , tatapan iba, dan juga makianpenumpang yang terganggu oleh hingar musik ibunya. Semua itu menjadisahabat sehari-hari si kecil.
Lain lagi dengan pemandangan di Pasar pagi Cikokol, Tangerang,Banten. Pukul 02.00 dini hari, seorang anak berusia tidak lebih tigatahun terlelap di tengah pasar. Berselimut angin malam, bertemanaroma pasar, si kecil tertidur ditemani hiruk pikuk para aktorpasar; penjual dan pembeli. Sesekali mimpinya tergugah oleh klaksonmobil, matanya terbuka melihat sekejap sang ibu yang sibuk melayanipembeli. Kemudian terlelap kembali merajut mimpi indahnya.
Anak pasar itu -kalau boleh disebut begitu- tak pernah tahu sebabapa ibunya menyertakannya dalam aktivitas di pasar dini hari itu. Iatak pernah benar-benar mengerti kenapa dirinya berada di tengah-tengah tumpukan cabai, bawang, tomat dan sayuran setiap pagi danmelihat transaksi jual beli yang dilakukan ibunya. Saat terbangundan menemani ibunya, cabai, bawang, tomat itulah sahabatnya. Anginpagi yang menusuk menjadi selimutnya, dan aroma tak sedap pasarbecek lah yang kerap mengakrabinya.
Di tempat yang berbeda. Seorang ibu di Bogor naik turun KRL (keretaapi listrik) menggendong anaknya yang cacat mental dan fisik,padahal si anak sudah berusia belasan tahun. Anak yang takkan pernahmengerti itu, benar-benar tidak tahu, sebab apa ibunya relamenanggung malu mengemis belas kasih dari penumpang kereta. Si anakjuga tak pernah bertanya, “beratkah ibu menggendong saya?”
Masih di kereta yang sama, seorang ibu lainnya menggendong anaknyayang berusia tiga tahun. Si kecil yang lucu dan ramah itu, hanyamemiliki sebelah tangan. Ia tak dianugerahi tangan kiri dan dua kakisaat terlahir ke dunia ini. Anak itu, tak pernah memahami kenapa disetiap menit selalu ada tetes air mata di sudut mata ibunya. Sikecil selalu tersenyum, meski air muka ibunya tak pernah menyiratkanbahagia. Senyum sang ibu kerap dipaksakan di depan para penumpangkereta, demi sekeping receh yang diharapnya.
***
Anak-anak itu, memang belum akan mengerti sebab apa ibunya mengejarbis kota , mengakrabi malam di pasar, dan menyusuri gerbong demigerbong kereta api. Yang mereka tahu hanyalah, mereka tak pernahjauh dari ibunya. Yang mereka rasakan adalah kecupan di kening danwajah setiap kali sang ibu berkesah tak mendapatkan rezeki. Bahasakalbu ibu berkata, “sebab cinta, ibu melakukan semua ini nak”.
Sungguh, jika tak karena cinta, langkahnya sudah terhenti. Cintalahyang mengajarkannya untuk menghapus kata “lelah” dan “putus asa”dalam kamus hidup seorang ibu.