"Tenang, 2 tahun lagi bakal ada temen buat lari-lari, Slam!" Kata mas Fian memberi selamat di hari kelahirannya, 2 tahun lalu.
Benar juga. Setelah bertahun-tahun lari bersolo karir, akhirnya saya punya teman tandem. 2 tahun lamanya mengajarkan dan menunggu dia mengangkat kepala, merayap, merangkak, ngesot, jalan, jatuh, jalan lagi. Fatih, anak lelaki dengan weton paling ampuh hitungannya dan cenderung menangan ini, kini sudah bisa diajak jalan-jalan dan lari-lari ringan.
Berawal dari kebiasaan. Jika saya sedang libur, kegiatannya adalah bangunin ayahnya tidur minta susu atau kebalikannya, lalu ajak jalan-jalan keluar rumah, ke sawah dan main ke rumah budenya, sekitar 1.5kilometer PP. Ibunya gak ikut? Egak, ibunya lebih memilih menekuni hobinya di dalam rumah.
Baca Juga : Siapa bilang lari itu olahraga murah?
Nah, ini dia untuk pertama kalinya.
Pada hari minggu kemarin, kali pertama saya ajak Fatih jalan-jalan ke trek lari. Trek favorit saya di UNNES ini lumayan ramai pada hari minggu. Trek lari melingkar sepanjang 400 meter ini sangat nyaman buat kaki walaupun barefoot, di tengah terdapat lapangan sepakbola dan beberapa dimanfaatkan untuk tolak besi dan serbaguna.
Jika dihitung secara kasar, ibaratnya saya sudah menghabiskan 5 pasang sepatu untuk lari di sini. Ketika menginjak garis trek, ingatan dan nostalgia seperti muncul kembali, serasa sembuh dari amnesia menahun. Rasanya pengen lari 9 atau 10 putaran, namun tangan ini ada yang enggan melepas gandengannya. Baru lari 5 meter sudah teriak manggil-manggil.
"Buntutkuuuu" Ada bocah yang memegang erat jari tangan kanan saya. Saya lupa kalau sudah ada yang nggondeli. Maka saya urung, hanya jalan-jalan untuk menemaninya putar lapangan. Sekali-kali saya ajak lari "Ayo lari-lari" dan si kecil pun mulai mempercepat langkahnya yang gontai sambil goyang kanan kiri.
Baca Juga : Pilih Lari Sendiri atau Berkelompok?
"Boy, kalau lari biasa aja kenapa!" Larinya seperti oleng kena gempa, kepalanya geleng-geleng sambil senyum bahagia seperti ketika minta es krim dari lemari es Alpamat. Oiya, pantesan! kamu kan masih balita. "Nak, hati-hati, pelan-pelan, lihat jalan ya" kayanya kata-kata tersebut belum mempan dicerna. Maka gandengan tidak boleh lepas.
Rencana lari-lari muter lapangan gagal, baru satu putaran sudah bad mood dan minta gendong di ujung track karena takut melihat topi macan atau sesuatu yang tidak bisa saya lihat dengan mata telanjang. Terpaksa improvisasi, jalan sambil gendong bocah sampai pada akhirnya kehausan dan minta susu.
Boy, kalau gendongan kaya gini, harusnya berat badan di Endomondo perlu ditambah 13kilo deh. Berat tauk! bisa bisa boyoknya kumat. Mending kita main ke lapangan basket, gelantungan di latihan calisthenic atau ikut tante-tante senam saja.