Terkungkung Informasi Yang Dinamakan Filter Bubble

Tuesday, January 30, 2018


Hati-hati sama Google, Facebook, dan social media!

Pernah merasa gak? kalau google itu sudah seperti dukun saja. Ibarat kata nih, Google lebih mengerti kita daripada istri atau selingkuhan kita?! Dia sangat paham apa yang sedang kita inginkan?

Jadi begini, ini kejadian nyata. Ketika saya sedang googling cara mengganti lensa xiomi yi, kemudian mendarat di salah satu halaman blog. Nah, keajaiban muncul di sini. Tiba-tiba muncul iklan barang-barang yang sedang saya inginkan, baterai xiaomi, VR-Box, kacamata renang dan baselayer. Semuanya barang incaran saya. Wah ini jangan-jangan google stalking aktivitas saya di internet nih.

Facebook juga sama. Pernah ngerasa kaya gini juga gak? Teman di facebook saya itu lebih dari 2000, tapi kenapa yang muncul di timeline kok elo-elo terus, dia dia melulu walaupun postingnya sudah kadaluarsa, tapi kenapa selalu muncul di paling depan? Ini ada yang aneh.

Tidak hanya di facebook dan google, tetapi di bing, yahoo, instagram, twitter, youtube dan sosmed lain pun sama. Jika mengutip dari Eli Parsier dalam videonya di TED, kondisi di atas dinamakan Filter Bubble. Sedangkan jika mengutip dari tulisannya mas Arief Prasetyo, itu dinamakan Echo Chamber.



FILTER BUBBLE / ECHO CHAMBER

Entah bentuknya seperti apa, algoritma ini dikembangkan untuk memahami selera penggunanya. Maka dari itu, hasil pencarian tiap individu akan berbeda walaupun memiliki kata kunci yang sama.

Google mencarikan informasi yang paling relevan dengan kepribadian kita. Kok bisa tahu, dapat dari mana? Google memeriksa sejarah browsing kita, halaman apa saja yang kita kunjungi, sering belanja apa, belanja di mana, apa yang kita share, apa yang kita posting. Bahkan jika kamu sudah log out dari komputer, google masih punya 57 patokan lain untuk mencarikan hasil yang sesuai dengan apa yang kita inginkan.

Di Facebook, timeline yang berderet di beranda adalah hasil saringan dari jejak digital pengguna. Artinya, berita yang muncul adalah update dari teman yang paling sering berinteraksi dengan pengguna, berupa comment, like, share dan pencarian. Facebook juga menyaring kabar-kabar dari orang-orang yang punya kesamaan dengan penggunanya. Di saat bersamaan, ia menjauhkan seseorang dari orang-orang yang tidak punya kesamaan secara algoritma.

Intinya:
Apa yang kita dapatkan di facebook dan google itu sudah disaring. Meskipun kata kunci pencarian sama, hasilnya akan berbeda beda pada tiap orang. Bagus sih, kita jadi lebih mudah untuk mendapatkan informasi yang kita sukai. Namun kita hanya akan mendapatkan informasi yang kita inginkan saja, bukan informasi yang kita butuhkan. Kita tidak bisa memutuskan apa yang ingin kita dapatkan. Jika kita terus mengkonsumsi dan tengggelam dalam filter bubble, maka kita akan terisolasi dan menganggap dunia kita inilah yang paling benar dan orang lain salah besar.


"Ah, itu kan cuma di internet. Gak ngefek di dunia nyata" 
Tenane bro? Ada lho yang beranggapan internet itu rujukan informasi paling benar.

Contoh paling mencolok adalah Informasi Politik dan agama yang berpotensi konflik, seperti  Jokowi-Prabowo, Ahok-Anies dan untuk luar negeri ada kemenangan Donald Trump pada Pemilu Presiden Amerika Serikat 2016.

Contoh paling dekat dengan saya juga ada. Ini kejadian nyata tentang efek filter bubble ketika sedang pengajian di rumah saya. Ada seorang yang menceritakan dengan semangat apa yang dia dapatkan dari Group WA (whatsapp) dan menganggap cerita ini benar-benar terjadi. Yaitu cerita tentang orang Indonesia yang tinggal di Rusia yang belajar agama lalu kembali ke indonesia untuk menanyakan tentang 3 hal, yaitu Bentuk Tuhan, Takdir dan Setan. Sudah pernah dengar belum? Sayangnya tidak semua jamaah  tahu bahwa cerita tersebut hanyalah cerita fiksi, bukan nyata.

Kemudian di percakapan yang lain. Bapak tadi mengajak jamaah yang hadir untuk menonton acara dakwah yang menurutnya cocok dengan jamaah. Tetapi ada jamaah lain yang menolak ajakannya.

"Pengajian ustad ini, di tivi itu, jam segini bagus. Monggo ditonton"
"Selerane podo porak?"
"Kayae nek kanggo bapak-bapak sini cocok"
"Nek gak selera yo ra mathuk"

Akhirnya mereka tenggelam dalam zona filter bubblenya masing-masing yang mengganggap pendapat dan seleranyalah yang paling benar dan menganggap pendapat lain tidak penting.

BAGAIMANA CARA KELUAR DARI FILTER BUBBLE/ECHO CHAMBER?

Internet itu cuma alat, yang brengsek adalah orang yang menyebarkan informasi ngaco di internet dan diperparah dengan orang yang memiliki #jempolmurahan (bisa buka linknya di bawah). Lalu bagaimana? Pecahkan gelembungnya! pastikan informasi yang kita dapat tidak disaring dengan hal yang relevansinya sama saja. Kita harus mau melihat sudut-sudut pandang orang lain, dan orang yang tidak sejalan dengan kita, bahkan dengan yang tidak nyaman. Berkenalan dan bersahabat dengan orang lain yang berbeda pandangan dengan kita, supaya pandangan kita jadi lebih luas.

Baca Juga : #Jempol Murahan, Musuh kita di social media

Sekali lagi, tidak semuanya yang kita lihat dan didapatkan di internet itu benar, jadi jangan langsung percaya, carilah informasi dan berita pembanding. Jangan share berita hoax dan jangan jadi #jempolmurahan

Berikut ada podcast yang bisa menjelaskan apa itu filter buble.

You Might Also Like

1 komentar

  1. Manteb Mas, jadi inget, gak menjelekkan atau merendahkan, ahli agama sekarang bagaikan kendaraan megapro dan CB, kendaraan sekarang kalau tabrakan body langsung bekok, beda sama CB yang masih kuat menhan benturan dan CB ini ibarat Ulama agama jaman dulu, dan orang jaman sekarang bagaikan mie instan yang belajarnya cepat dan langsung jadi dan langsung dimakan. Walaupun mie instan itu tidak baik bagi kesehatan.

    ReplyDelete

Followers