Trailrunning Merbabu dan Menikmati Kejutan Indah Pegunungan Jawa Tengah

Saturday, April 04, 2015

"WOY, TONI... PAHA KIRIKU KERAM!!!" teriak saya sekencang-kencangnya dalam hati, seraya melambaikan tangan ke arah Toni yang berada di bukit seberang. Sebenarnya saya mau teriak pakai TOA a.k.a pengeras suara di masjid dan melambaikan sapu tangan putih, tapi saya malu jika seluruh penghuni puncak  Kenteng Songo Gunung merbabu mendengarnya kala itu. Bisa-bisa rusak reputasi saya sebagai tukang playon gunung amatir. Jadi, saya cuma melambai memberi kode dari puncak seberang sambil menunjuk paha kiri yang harus diseret setelah otot tertarik di tanjakan terakhir.

Wahaha... ceritanya bakalan panjang nih. Jadi siapkan minuman dan cemilan yak *senyum ramah*

Dhave bilang kalau jalur Wekas adalah jalur terpendek menuju ke merbabu. FYI, Dhave ini adalah Ahli microbiologi dari Salatiga yang terperangkap dalam dunia fotografi. Dialah orang sudah mencuci otak saya, menjejalinya dengan segala tantangan dan kejutan-kejutan gila nanmenyenangkan tentang lari di gunung, lebih populer dengan sebutan Trail Running atau Mount Trail.

Pada dasarnya Trail Running adalah olah raga lari yang mengambil jalur pendakian gunung sebagai track-nya. Olah raga ini membutuhkan stamina dan daya tahan tubuh yang maksimal, selain itu pelari juga membutuhkan pengetahuan dasar pedakian dan pemahaman navigasi bila tidak ingin tersesat.

Wekas. Di sini lah kisah pendakian kami mulai. Wekas adalah desa paling terakhir sekaligus tempat pos pendataan bagi para pendaki. Dari jalan raya, kami memilih untuk naik ojek untuk mempersingkat waktu dan tenaga. Jarak 3.4km ditempuh hanya 15 menit melewati jalan Taman Nasional Gunung Merbabu yang cukup menegangkan.

CENGLU YANG MENEGANGKAN! Cenglu dalam bahasa semarangan berarti 1 motor dinaiki 3 orang, dengan formasi tukang ojek sebagai striker, saya gelandang, dan Dany sebagai penjaga gawang. Rem seakan tidak difungsikan, yang ada hanya gas, gas, meliuk dan tarik gas lagi. Sungguh kolaborasi yang epic. Motor laki yang tangguh dan tukang ojek yang sudah khatam medan tempur, mungkin dia juga sudah hafal dimana dan tau berapa jumlah lubangnya. Alhamdulilah organ tubuh masih utuh sampai di pos.

POS 1 Wekas (dari kiri) Dany, Saya, Tony, Herry, Yafeth Wetipo, Dhave
Setelah membayar karcis masuk sebesar Rp4.000,- dan mendaftarkan diri untuk pendakian, kami langsung melakukan aklimatiasi untuk menyesuaikan iklim setempat, melakukan pemanasan secukupnya, lalu berganti kostum lari. Demi keamanan jiwa, raga dan dunia persilatan,saya memilih memakai celana kolor warna hitam. Namun, Sayangnya ada beberapa perlengkapan yang tidak saya bawa, ini murni kekhilafan saya.

Saya tidak memakai sepatu. Saya hanya menyelipkan kedua kaki pada sandal gunung, yang saya pikir cukup nyaman untuk melakukan pendakian. Ternyata salah. Salah besar! Jadi, runners, ini merupakan pelajaran, pakai lah sepatu yang nyaman saat trailrunning, atau kakimu akan kering, kaku, kotor dan luka. Namun beda lagi bila kamu punya ceker sakti.

Berkat pengalaman menyakitkan di merbabu inilah, nantinya saya tidak lagi memakai sandal untuk naik gunung. Selain sepatu, saya juga lupa membawa sarung tangan, penutup kepala dan masker. Namun ada hal yang lebih penting untuk disiapkan, yaitu fisik. saya sama sekali tidak joging atau basket setelah kemarin libur panjang. Tabrak aja dulu deh! "bismillah" semoga kuat dan perjalanan lancar.

Di atas kertas, jarak menuju puncak hanya 5.76 kilometer kalau dari Wekas, hmm… tapi tetap saja bakal terasa berat karena perjalanan bukan seperti pendaki pada umumnya yang bisa berlama lama istirahat. perjalanan kami lakukan secara tik-tok. Tik tok yang berasal dari bahasa inggris, take top adalah mendaki gunung tanpa berlama lama di puncak, setelah sampai di puncak langsung bergegas turun kembali.

Tetapi Jalur wekas cukup nyaman kok daripada jalur Cuntel, Thekelan atau Selo, terutama bagi pendaki yang baru pertama kali ke merbabu seperti saya. Kenapa? karena persediaan air melimpah, pohon pinus dan cemara yang menjulang tinggi sangat memanjakan mata. Pepohonan begitu rimbun meneduhkan langkah kaki dan meredam detak jangtung yang mulai berdebar kencang.


Jalurnya memang sejuk, tapi sebuah masker dibutuhkan untuk menyaring udara. Debu debu halus walaupun hanya hentakan kaki, debu menyumbul dengan mudahnya mengotori udara, lalu masuk ke hidung atau melekat di langit langit mulut bila lubang pernafasan tidak ditutupi. Belum lagi saat tubuh menyesuaikan diri dengan udara merbabu, hidung akan terasa pengar, bersin bersin dan meleleh. Tenang, bisa disiasati dengan menjaga jarak pendaki.

"pace, puncak su dekat" Tony memanggil saya dengan logat timurnya (pace adalah panggilan untuk laki laki di papua, kalau di semarang sama dengan Mas). Hahaha... inilah kalimat ajaib yang mampu membuat senyum merekah dan meletupkan semangat untuk kembali melanjutkan perjalanan. Sebagai bahan bercandaan, terkadang kalau ketemu air, secara reflek langsung bilang "sumber air su dekat," mirip iklan air mineral. Dan ajaibnya, semangat kembali full seperti batere handphone yang di charging.

Ketiga teman saya; Yafeth, Dany dan Tony menunggu saya di pos 4, sedangkan Herry sepertinya masih jauh di belakang mengatur langkah, sedangkan Dhave yang biasa sarapan lari 5-10km tiap pagi, mungkin sudah sampai di puncak, makan wafer atau foto foto di puncak pakai lensa fish eye. Edan! Itu orang apa alien? Bhahaha.
Pos 4 Jalur Wekas, Gunung Merbabu
Di taman yang lumayan lapang ini, ketinggiannya sekitar 2000mdpl biasa dimanfaatkan pendaki untuk mendirikan tenda dan menitipkan barang barang di dalamnya. Tapi harap waspada, jaga barang berharga milik anda di sini.

Angin bertambah kencang dan dingin. Matahari yang terik pun tak mampu menyamarkan dingin. Saya berlindung dibawah pepohonan sebentar, menghangatkan diri dengan menanggalkan baju dalam yang basah dan mengenakan jaket parasit.

Puncak puncak merbabu sudah nampak, dari sebelah kiri saya bisa melihat Puncak Watu Tulis dengan pemancar sebagai penandanya, Puncak Kukusan berada di tengah lembah, Puncak Syarif dan Kenteng Songo juga nampak di pucuk.

Terlalu lama beristirahat malah akan menyiksa otot kaki, waktu pun banyak terbuang, karena perjalanan selanjutnya akan lebih berat. Tanjakan berbatu, alang-alang, pasir dan kawah belerang sudah menunggu di depan. Oiya, banyak sekali bunga abadi edelweis yang tumbuh di kiri dan kanan. menghiasi jalan setapak yang berdebu di akhir bulan Agustus.

"ayo petiklah slam! Petiklah bunga edelweis yang cantik itu" ada bisikan bisikan yang menggoda untuk memetik bunga simbol keabadian itu. Sepasang tangan yang mengkerut kedinginan pun mendadak gatal. Rasanya, ingin sekali memetik sekuntum saja sebagai cindera mata untuk Mbak Pacar tercinta. Tapi...ahh sudahlah... (masukin tangan ke celana). Sebagai pendaki kita tidak boleh mengambil apapun selain gambar.

Sampailah di watu tulis, yaitu pertemuan jalur Cuntel dan Thekelan. Ular phyton mulai beringas di perut saya dan mengeluarkan bunyi, "krucuk krucuk." Pertanda saya kelaparan. Sepertinya angin yang semakin kencang dan udara dingin cepat menguras tenaga dan kalori tubuh.

HAH! dan apa-apaan pemandangan tak senonoh di depan saya ini? Sekitar 50 meter di tempat saya  berdiri, Tony dan Dany dengan brutalnya mengunyah roti tawar di atas batu besar. Saya hanya bisa memandang dan menelan ludah, karena yang tersisa di dalam tas hanya permen karet dan tolak angin saja (hadeeeh, geleng geleng, kerongkongan seret). ALAMAK! Saya melakukan kesalahan fatal lagi, seharusnya kebutuhan pokok seperti minum dan makanan harus di bawa sendiri, bukan malah dititipkan ke Dhave. Harusnya saya sadar sejak dari awal, kalau alam kita sudah berbeda.

Runners, Pesanya adalah jangan menggantungkan kebutuhan pribadi kepada orang lain. Selain memberatkan beban kawan, juga bisa merepotkan diri sendiri. Contohnya, ketika melapar seperti ini.

Pemancaar, Puncak watu tulis, Jembatan setan dan Geger sapi, foto diambil dari atas
Di depan mata, Jembatan setan yang panjang terjal berbatu dan gundukan Geger sapi terlihat jelas, jaraknya sekitar 200 meter jadi tantangan selanjutnya.

"HMMM…AAAHHHH..." saya menarik nafas dalam dalam, mengumpulkan tenaga dan mulai melangkah dengan jari kaki yang mulai perih dan lecet. Saya ingatkan lagi, sandal gunung itu kurang nyaman untuk mendaki. Di tengah jalan saya berpapasan dengan Dhave yang melompat-lompat turun menapaki batu seperti kambing gunung. Kurang waras orang ini! batin saya sewot. Sungguh, saya iri dengannya yang lari di gunung sudah seperti menari balet saja.

"puncak sedikit lagi kok, kalau gak kuat jangan dipaksakan! Ingat dengkul mas!" katanya mengingatkan. Sepertinya dia tau kalau ada yang tidak beres dengan kaki saya.

"hah, sudah sampai sejauh ini kok balik kanan! Malu dong sama monyet yang berkeliaran di pos 4" jawab saya sedikit gengsi. Padahal, kalau mau jujur, dengkul saya ini sudah terasa senut-senut.

"bhahaha... oke, saya tunggu di bawah Pemancar Watu Tulis, Mas. Kalau ada barang yang mau dititipkan sini saya bawakan" Dhave menawarkan bantuan.

"gak usah mas" sahut saya. "tolong wafernya jangan dihabiskan" saya nyengir, lalu melanjutkan langkah.

Geger Sapi
"Puncak su dekat" Kali ini saya yang mengucapkan kalimat ajaib itu sebagai penyemangat. Tinggal melewati punggungan panjang dan tanjakan vertikal yang terjal berbatu disebut Ondo Rante. Saya harus bergumul dengan debu hitam, memanjat, berpelukan dengan tebing dan mencari pegangan batu yang stabil atau akar pohon untuk melalui tebing Ondo Rante. di sini saya berpapasan dengan Wetipo, rupaya dia sudah mau turun.
Ondo Rante
Ondo Rante, saya sempat main plorotan di sini sampai celana kolor bolong
Ujung Ondo Rante sebelum puncak Kenteng Songo, tebing curam ini harus dilalui dengan hati hati, saya melaluinya dengan ngesot. Kalau terpeleset bisa fatal akibatnya. Di ujungnya tanah berwarna agak hitam, gembur dan panas menyerap sinar matahari. Nah di sini pula celana saya bolong, karena iseng plorotan dan mainan debu.
Puncak Kenteng Songo dengan Background Gunung Merapi
Akhirnya sampai juga di pucuk Kenteng Songo Gunung Merbabu 3.142mdpl. Apa yang saya rasakan sangat sulit diungkapkan dengan kata kata. Mendadak kadar narsis dan lebay melebihi ambang batas kewajaran kalau sudah sampai puncak seperti ini, jadi harap maklum, ya. Nama Kenteng Songo sendiri dihubungkan dengan adanya batu kenteng berjumlah sembilan, bentuknya bulat dengan lobang ditengah, namun sekarang sudah tidak utuh, banyak coretan dan ada yang hilang oleh tangan jahil.
Watu Kenteng
Sakit di kaki kiri yang tadinya keram dan harus diseret karena tertarik di Ondo Rante hilang dalam sekejap setibanya di puncak Kenteng Songo. Saya melambai ke Toni dan Dany, memberi kode supaya menunggu sebentar. Asalan sebenarnya supaya ada yang fotoin, soalnya belum booming istilah selfie. Malu teriak, karena di puncak sudah ramai pendaki. Iya ramai sekali. ada yang romantis di pojokan, ada yang serius 1 kompi mahasiswa upacara di atas memakai toga, mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu syukur. ada juga yang sempat membawa nasi kuning buat dimakan di puncak (yaelah... mba). Lalu saya ngapain? Saya sibuk mencari kupluk penutup jidat yang jatuh entah dimana.

Pemandangan dari puncak Kenteng Songo Merbabu
Bisa dikatakan separuh Gunung di Jawa Tengah bisa terlihat dari sini, pucuk pucuk gunung menyumbul dengan keunikannya masing masing. Menengok ke arah utara, saya bisa melihat puncak Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dataran tinggi Dieng, Gunung Andong, Gunung Telomoyo dan Gunung ungaran. Sedangkan bila saya menengok ke barat, saya melihat kokohnya Gunung merapi yang masih aktif.

Inilah alasannya mengapa saya cinta lari dan gunung gunung di Jawa Tengah. Anyway, Ngobrol soal wisata pegunungan, Jawa Tengah memiliki banyak sekali Potensi Wisata Pegunungan yang membentang dari timur hingga ke barat seperti Gunung Slamet sebagai gunung tertinggi Jawa Tengah. Gunung Perahu, gunung pendek dengan view sunrise yang indah menyinari gunung Sindoro dan Sumbing. Dieng, Bukit Sikunirnya membuai para pemburu pagi. Gunung Ungaran, gunung untuk pemula namun penuh misteri. Gunung Merapi, Gunung Muria di Kudus dan tentunya Gunung Merbabu yang sedang saya daki ini. Tiap gunung memiliki keunikannya masing masing, dan Merbabu termasuk yang unik sekaligus indah, menurut saya.

Saya cukupkan waktu untuk menikmati suasana puncak merbabu, berlari kesana kemari memuaskan diri dengan memotret keindahan alam Gunung Merbabu dengan kamera hape 2 mega pecel yang baterainya hampir sekarat, lalu turun kembali.

Perjalanan 5.76 kilometer menuju puncak dari Jalur Wekas dengan waktu tempuh 3 jam lebih. Di puncak cuma 15 menit, karena matahari sudah tidak bersahabat, tengkuk dan ubun ubun mulai menguap karena tak terlindungi.

Nah perjalanan turun Merbabu lewat Jalur Cuntel inilah yang bakal bikin greget, gemetar dan menyakitkan bagi sepasang kaki berbentuk ‘O’ dengan sandal gunung laknat. Oh ya, kamu minumnya sudah habis belum? kalau habis silakan diisi lagi yak! terus balik baca lagi. bhehehe
---@---

Iya, semangat membara menuruni Cuntel
"HEY TONY MATHEO TAKAEB… sepertinya kamu harus dikasi pelajaran soal navigasi di gunung!!!"
mungkin ada benarnya juga yang bilang "naik itu susah, giliran turunnya lebih susah". Coba bayangkan, ketika kamu sedang terbuai pesona puncak Kenteng Songo Gunung Merbabu setelah hampir 4 jam perjalanan yang tidak mudah, dengan cepatnya kenikmatan itu kandas, karena secepatnya harus turun gunung, diperparah tanpa adanya cadangan air dan isi perut yang mulai protes kelaparan. Serius! Ini lebih parah daripada melihat mantan yang jadian sama teman sendiri. serius dah!

Kulit ari, kulit terluar kaki jari jari saya jebol. Akhirnya kulit jari jempol  dan kelingking kaki kanan dan kiri mengelupas setelah menuruni Kenteng Songo. Jalur menurun sejauh 1 kilometer yang berbatu, bepasir dan berdebu memberikan tekanan yang berlebih pada lutut dan kaki. Kulit kaki terluar yang tanpa pelindung tidak kuat lagi menahan gesekan plastik keras dari sandal gunung. Setiap langkah kaki adalah sebuah siksaan. Plester pun tidak banyak membantu, mau telanjang kaki juga bakal tambah parah. Mau nekat?
Telanjang kaki, alias nyeker
Sampai di pemancar, persimpangan jalur Cuntel dan Thekelan tempat meeting point, saya langsung lepas sendal dan cari pengganjal perut. Wafer rasa strobery di ransel Dhave setengahnya langsung lenyap, lumer dalam kunyahan mulut dan larut di usus saya. Sedangkan Wetipo yang hanya memakai kaos buntung nampak sedang berjemur dibawah sinar ultra violet.

"biar hangat mas" katanya meringis. "orang papua itu kulitnya tahan panas mas slam!".

"Terserah pace saja, kalau pace bahagia, saya juga ikut bahagia" sahut saya sambil meluruskan kaki di bawah pohon. Saya paham, kalau di papua tempat asalnya sana lebih dingin dari ini.

Dan keesokan harinya, baru nampak efek sinar ultraviolet, kulitnya yang gelap, kini berubah jadi kemerahan.

Tempat Plorotan saya
Jalur Cuntel sejauh 7 kilometer diawali dengan menuruni tanah kering yang panas dan dikelilingi ilalang. Saya tambal lagi jari jari kaki, sengaja dirangkap dua untuk penahan gesekan, namun tetap saja lepas karena perekatnya kalah oleh ganasnya terpaan debu. Terpaksa jalan pelan sambil menikmati perih di tiap gesekannya.

Saya ingatkan bagi pendaki atau pelari bercelana kolor, jangan main plorotan diatas rumput ilalang walaupun itu nampak begitu mengasyikkan. Tahu-tahu pantat dan paha kamu sudah perih, lecet atau sobek. Ilalang itu setajam silet jendral! (elus elus slebor)

Sampai di pos 4 Cuntel (anggap saja begitu). Rumput berduri dan ilalang tumbuh subur di kanan kiri jalan setapak, bahkan jalur hampir hilang karena tertutup ilalang, ditambah lagi banyakanya percabangan dapat membuat kita tersesat.

Saya dan Tony tertinggal karena berjalan lambat, kami berusaha mencari jejak dengan bertanya ke pendaki yang naik "tadi lihat 3 orang turun pakai baju hijau?"

Namun mereka cuma geleng-geleng tidak yakin.

Lalu saya mengajukan pertanyaan yang lebih spesifik "ada 2 orang papua yang turun pakai celana kolor?"

"OH, IYA. TADI LEWAT SINI, MAS" jawabnya begitu yakin sambil menunjukkan arah. Ternyata kata 'Papua' dan 'celana kolor' jadi kata kunci sekaligus barang bukti ciri-ciri otentik untuk mengidentifikasi jika mereka tersesat atau hilang.

Akhirnya sandal gunung saya lepas walaupun kaki harus rela berpanas panas ria di permukaan tanah. Terasa lebih nyaman. Setidaknya, saya tidak merasa ditusuk jarum tiap kaki melangkah karena sandal sialan ini. Tony Matheo Takaeb yang mungkin berniat baik memberi penanda arah jalan malah bikin perkara. CELAKALAH SAYA. Dia malah menyebar ranjau berupa ranting berduri di tiap 6 meter.

HEEEY TONY!! DURI ITU TAJAM DAN MENUSUK!" taukah kau Tony? duri itu tidak seempuk remahan wafer atau roti tawar! Gerutu saya dalam hati. Rasanya gemes pengen jorokin Tony dari pucuk Kenteng Songo langsung ke kawah Merbabu. Akibatnya saya melanjutkan perjalanan seperti main game mario bross yang melompati halang rintang berupa ranting berduri.

"lhoh kok nyeker mas?" sapa penyemangat sekaligus bikin kesel dari pendaki lain setiap kali berpapasan dari bawah.

"hahaha pokoknya salahkan Tony!". jawab saya pelan dan sambil lalu. Berharap mereka tidak mendengar nada setengah mengumpat dari mulut manusia nyeker yang sedang sebal ini. Saya terus jalan terpincing-pincing sampai di Desa Cuntel.

Sunset di Pos Cuntel Gunung Merbabu
7.3 kilometer dengan waktu tempuh 3 jam menuruni jalur Cuntel di bayar lunas dengan telo rebus, teh hangat, air es alami yang dingin untuk mandi di Camp Cuntel, dan senyuman ramah tuan rumah. Lalu ketika senja tiba, kami menikmati pemandangan tenggelamnya matahari dibalik gunung Sindoro Sumbing sambil mencari salah satu teman kami yang belum sampai juga. Mencarinya di POS Cuntel, siapa tau dia kesasar di sana.

Ada seorang kawan yang tertinggal. Herry, pria tinggi jangkung yang jambangnya rimbun itu ternyata baru pertama kali naik gunung. Ditunggu sampai sore belum kelihatan juga bulu dengkulnya. Kami berspekulasi, mungkin dia sedang digembleng oleh alam Merbabu, mungkin diculik oleh Danyang penunggu Gunung Merbabu atau mungkin tersesat. Fantasi kami mendadak jadi aneh-aneh. 1 jam, 2 jam, 3 jam kami menunggu di persimpangan jalur turun cuntel sampai langit gelap. Akhirnya dari kejauhan ada kilatan cahaya dari gigi Herry yang meringis kesakitan. Dia nampak jalan pincang dan tergopoh-gopoh memakai tongkat dari dahan pohon.

Kami memapah Herry sampai ke Pos Cuntel rumah milik Pak Tono. Yafeth Wetipo sebagai teman kampusnya mengurut dan mengompes kaki herry sambil terus tertawa. Bhahaha, Sepertinya teman kita satu ini punya cerita yang lebih seru dan penuh kejutan daripada yang lain waktu turun merbabu. Semalaman kami terus tertawa gak jelas karena peristiwa itu, hingga kami ketiduran. #thanksHery

Pagi harinya kami pulang lewat kopeng
Kemudian pada hari itu saya berikrar kepada diri sendiri. Saya bakal beli sepatu trail yang cocok dan nyaman untuk naik gunung. Nanti, ketika naik gunung gunung indah yang lebih menantang di Jawa Tengah, say no to Sandal! pakailah sepatu. Buat kamu yang gemar lari dan ingin mencoba alternatif track baru, merbabu bisa jadi track yang menarik untuk Trailrunning. Tunggu saya pegunungan Jawa Tengah #okesip #jambakTony.

Foto credit to : Dhave dan kamera 2 mega pecel G502 yg sudah pensiun

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog Blog Competition #TravelNBlog 3 yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID.

You Might Also Like

59 komentar

  1. Ondo Rante terlihat mengerikan banget! Jadi inget kalau saya belum nulis tentang Merbabu di blog sendiri. xD Waktu itu naik-turun lewat Selo, tapi jalur yang lain seru juga nih keliatannya :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah mba first sudah ke merbabu juga. kalaaass
      Jalur selo sangat indah pemandangan padang savananya.
      Saya malah belum pernah lewat jalur selo..
      yuk diulang lagi

      Delete
  2. wow seru banget, foto foto nya keren, sepertinya semua puas banget , setelah mencapai puncak

    ReplyDelete
    Replies
    1. puas gak puas sih mas, mungkin kalau mau puas itu mendirikan tenda di atas semalaman. bhahaha... tapi kami tik tok. langsung turun

      Delete
  3. Replies
    1. sudah diagendakan oky, nunggu waktu dan sponsor saja bhahaha

      Delete
  4. syem .... aku kok merinding pas melintas lereng ik ...

    hihihi .....

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha km biasanya kan motret yang bikin merinding juga. tapi yang lain

      Delete
  5. Cadasss memang slam iki...
    Jempolku gur papat slam :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gapapa don. Pake 2 jempol tangan aja.
      Diklik share ke SS lak mantep ehehe

      Delete
  6. Sambil terkantuk kantuk bacanya... Hoaaaam.... Jd ini yg prnh d ceritain... Tragedi sandal dan kisah d balik sepatu ijo yg always nangkring d kaki....😖😂😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan yang ijo, tapi yg orange Reebok.
      Langsung beli di Java, nyari yg mahal.
      Tapi belum ada setengah tahun sudah jebol.
      Ini yg salah kaki apa sepatunya coba

      Delete
  7. naik gunung, not my toy...dakuw nyari sing dfatar-datar ajaahhh hihihihi..pemandangannya emejing yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha mba dewi spesialis nulis buku, kulineran dan momong anak saj ahehehe

      Delete
  8. jadi, cenglu itu artinya bonceng telu? :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mba, cenglu=bonceng telu. 1 motor disi 3 orang.
      atau ada istilah semarangan satu lagi 'nggandok'
      artinya sama dengan cenglu

      Delete
  9. fotonya keren semua...
    minuz itu kaki..
    hehehehheheheh

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmmm syem ya...
      habis itu beli sepatu reebok mud slinger buat ngetrail. pas ada diskon
      bhahaha.. malangnya belum ada 1 tahun, sepatu gak tahan juga...
      terus beli lagi yang lebih murah.
      dari situ juga dapet ilmu 'jangan beli sepatu stock lama'

      Delete
    2. terus beli yang warna ijo pupus ya mas...?
      harganya njeglek

      Delete
    3. gak papa, yang penting pake sepatu... ben gak lecet lagi...

      Delete
  10. Duhh.. itu foto-fotonya bikin gregetan pengen nyamperin.
    Ps: Tanda bacanya diperhatikan lagi ya, Kakak... *speaknoevil*

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya samperin tho.... jalan jalan cantik saja... ojo playon bhaha
      iya, tanda bacanya banyak yang berserakan

      Delete
  11. seruuuu..udah kebayang deh gmn medanny merbabu abis baca pengalaman mas slam,,informatif bgd, potony2 apik, G.O.O.D..J.O.B mas...

    ReplyDelete
    Replies
    1. gimana medannya? asyik kan?
      banyak kejutan kejutan menyenangkan...
      kalo kesana, persiapkan yang matang yak

      Delete
  12. Next Time aku ikut Slam...

    *asal sudah ada Lift ke atas*

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah to, lak tenan gak jauh dari lift
      suk mas nek jokowi nyalon lagi.
      #thanksjokowi
      bhahaha

      Delete
  13. Aiiih Mas Slam.. Beta jadi kangen sama Merbabu..
    Itu seriusan potonya cuma pake 2megapicel? Wow banget Mas..

    Yuuk naek Merbabu lagi, tapi setel kendo wae mas.. ojo mlayu2..

    ReplyDelete
    Replies
    1. ada 4 foto yang pake kamera 2 megapecel milik saya pribadi.
      yg alinnya minjem pakai DSLR, sudah kelihatan bedanya kok, dan gampang bedainnya. mana yg dslr dan 2mp.

      iya, stel kendo dari jalur selo. nyobain sana

      Delete
    2. Kirain pake HP semua mas, beberapa temen cuma pake HP juga hasilnya keren2 Mas waktu di Merbabu, jadi mupeng..

      Keren Mas Slam via Selo, banyak sabananya ya?

      Delete
    3. iya gak semua.
      kalo sekarang kamera hape sudah ada yg sape 13mp, lebih simple.

      iya, via selo pada savananya ajaib... keren bingit.
      dateng pas bulan agustus-september.
      langitnya sering dapet yang cerah dan biru membumbung

      Delete
  14. wowww....jadi pingin naik gunung.....sekarang cukup merbabu di pandnaran aja :D

    Semoga menang mas Slam....pengalamannya sungguh seruuu

    ReplyDelete
    Replies
    1. amienn mba inung,
      merbabunya disana mahall mahal je bhehehe. anginnya kurang kenceng

      Delete
  15. Replies
    1. itu bukan olahraga linda... tapi piknik itu
      lumayan untuk melepas penat setlah seminggu duduk di kursi panas

      Delete
  16. eeyaampun mas slam...njuk bokongmu piye nasibe iku keno ilalang *oot :D

    ReplyDelete
  17. Jadi mbak pacar ngak jadi di kasih bunga dong hehehe, Btw pergi ama kak dave dhanang yeeee

    ReplyDelete
    Replies
    1. eh ada mas cumi yang melegenda di travlenblog semarang
      iya dhanang..
      racun tuh

      Delete
  18. wuiihh keren tempatnyaaa! Sebel banget sama tangan-tangan jahil :(

    ReplyDelete
  19. lebih seru lagi kalau fotonya di ganti naik gunung telanjang bulat? go ahead.. hehe
    tapi keren banget ko daki gunungnya, jadi pingin juga

    ReplyDelete
    Replies
    1. wahaha gak boleh telanjang bung,
      nanti kena semprit KPI dan KPK bhahaha.
      gak boleh lah, di gunugn juga ada sopan santunnya...
      tapi anyway, idenya liar tuh

      Delete
  20. Replies
    1. bukit yang mana mba?
      saya paling suka yang bukit penuh sabana

      Delete
  21. Untung dhisik ora munggah Ondo Rante, skip ae nag Kentheng Songo hahaha. Btw, naik gunung di bawah langit biru itu sangat memberikan semangat walau terik. Pemandangannya adem, fotonya bagus-bagus Mas! :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. thanks mas... woh berati naiknya dari selo ya?
      atau dari mana kah?

      Delete
  22. mantep tenan mas tulisan & foto2 nya; sy fajar baru mulai seneng2 nya trail running.. klo naik gunung blm pernah sama sekali.. rencana pengen bgt ke merbabu. apa msh punya kontak guest house yg sekitar titik start wekas? maturnuwun

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah kalau dari wekas saya gak punya kontaknya, kalau di cuntel ada. namanya basecamp pak tono. biasa juga buat kumpul kumpul para pendaki. untuk yang di wekas, bisa langsung ke basecamp. coba kontak Jalur Wekas : 081325932700,085740540437 (kalau belum berubah)

      Delete
  23. Wah, aku urung karuan kuat trail running nang Gunung Mas :(

    Tapi setuju, saya seneng banget pemandangan gunung-gunung di Jawa Tengah, termasuk si 2M itu :)

    ReplyDelete

Followers