Tangis Untuk Adikku

Friday, April 30, 2010

[my brader gak mau difoto]

Tadi siang waktu sholat jumat dimasjid, sempat melihat anak laki-laki kakak beradik yang sangat akur, sang kakak berkisar umur 9 tahun dan adiknya 4 tahun. Si adik menggandeng terus kakaknya sambil berpelukan seakan tak ingin berpisah sedetikpun. Si kakak juga sangat sayang dengan adiknya merangkul dan menciumi si adik.

Mereka duduk berdekatan dan berkumpul bersama teman-teman si kakak didepan masjid. Tiba-tiba ada teman si kakak menggoda dengan berpura-pura memukuli si kakak. MAU TAU APA REAKSI SANG ADIK?
Si adik marah, menangis, mengepalkan tangannya dan memukuli teman si kakak, si adik berlari-lari mengejar teman yang sudah menjahili kakaknya sambil berteriak "AWAS KOWE AWAS KOWE!!".

Si kakak diam saja, karena tau itu hanya guyonan untuk menjahili adiknya yang tak mau lepas dari kakaknya. Si kakak hanya duduk dan cengangas-cengenges saja. Si adik yang masih ngos-ngosan mengejar teman kakaknya yang jahil sambil mengusap air mata dan keringatnya. Kemudian Si kakak Menarik tangan adiknya, merangkul, memeluk dan mencium si adik. Si adik pun duduk, diam dan tenang berada disamping kakaknya.

Rukun sekali kakak beradik itu, slam sungguh iri dan langsung teringat wajah my brader (kakak perempuanku), yang tak seberuntung dan seakur mereka.

Berikut ada cerita inspirasi yang mungkin bisa membuat kita bersyukur masih mempunyai saudara.

INPIRASI Berjudul : Tangis Untuk Adikku

Maaf sebelumnya, posting ini slam copas tanpa ampun dari inspirasipagi imelda FM. sekedar sharing saja, Semoga bisa diambil manfaatnya.


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Yang mencintaiku lebih daripada aku mencintainya. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan napas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik,hasil yang begitu baik" Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!" Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..." Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar --ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"

"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai. (Dari "I cried for my brother six times - swaramer)

You Might Also Like

26 komentar

  1. Brader kok cewek, Sister kaliii....

    ReplyDelete
  2. Kisah yang inspiratif mas...memang bahagia terasa kalau kerukunan didalam keluarga bisa terjaga dengan baik...

    ReplyDelete
  3. mau percaya atau ngga, aku nangis terus baca ini, hebat!!

    demi kakak, adhek bisa seperti itu, aku bener bener terinspirasi oleh cerita ini :).

    ReplyDelete
  4. kalau udah jauhan/masing2 udah berkeluarga/merantau....terasa banget.
    hiks jadi kangen kakak n adikku....
    aaSlam tanggung jawab...

    ReplyDelete
  5. pic nya koq ditutup gitu?
    itu pic kakaknya?

    ReplyDelete
  6. klo saya sama abang saya dulu, jaman kecil malah pengen bunuh-bunuhan..
    hahahaha
    tp biar kata si abang saya terus2an nyikut ato nyubit saya, tp perbedaan usia yg cuma 2 tahun mbuat saya selalu ngikutin dia kemanapun dia pergi..
    abis klo maen sendiri, saya selalu dibikin nangis sm tmn maen saya.. nah klo ada abang saya, minimal saya lbh aman dari gangguan tmn2 saya, tp tidak dari amarah abang saya..
    hahahahahahaha

    ReplyDelete
  7. @aa mican ; iya, lebih suka brader walopun cewe
    @noor : rukun rukun ya
    @ocha : kalo pusing nanti biar dikerokin ma aa ganteng cha
    @inuel : alhamdulilah ada yg terinpirasi
    @narti : telpon kakak gih
    @sda : suka malu malu, gak mau difoto dia
    @lisha : sekarang masih akur kan?

    ReplyDelete
  8. ak juga dua bersodara, sama kakak cowok ;)
    kakak uda kek sahabat sendiri, dan hal yg paling menyedihkan adalah pas dia mo menikah,
    semacam kehilangan dia, kekekekek

    ReplyDelete
  9. jadi ngiri...
    saya gak akur sama sodara sih :p

    ReplyDelete
  10. allhu akbar, cerita yang sangat menyentuh kalbu.
    luar biasa sang adik itu...

    ReplyDelete
  11. pertengkaran sesama sodara jg terkadang menyenangkan

    ReplyDelete
  12. indah betul...ketika saling menyayangi....

    ReplyDelete
  13. halo slaamm.. huhu kangen adek deh aku

    ReplyDelete
  14. berantem-beranteman sama sodara juga asik kaliii... hehehe...

    ReplyDelete
  15. hehehehe..itulah pahit manisnya hidup dengan keluarga...

    ReplyDelete
  16. akupun bersyukur punya saudara yang akur semua sob

    ReplyDelete
  17. saya bersyukur saya juga masih akur terus sampai sekarang dengan bang Iwan

    ReplyDelete
  18. met malem minggu mas slams hahay.. kencan ama bola basket pasti wkwkwk

    ReplyDelete
  19. Subhanalloh.....
    Ah, Adik yang baik dan kakak yang baik semoga sekarang tetap rukun dan baik....

    ReplyDelete
  20. Thanks neh Mas cerita inspirasinya, bener2 menginspirasi, moga ada hikmah yang didapat dari cerita ini, terkadang kita lebih dekat ama sahabat di banding adik ataupun kakak.. duh...

    ReplyDelete
  21. semoga menjadi pasangan adik kakak yang langgeng amiin

    ReplyDelete
  22. wah hebat sekali cerpennya.........hehe...adiknya kok penyayang sekali itu,,,,hahaha

    ReplyDelete
  23. maaf nih, postingan yang ini lama aku abaikan..
    @ocheholic : ini aku 2 bersaudarah, sudah 6 bulan lebih ditinggal, dia ikut dengan suaminya
    @ra kun : harus sayang sama saudara ra
    @siroel : iya, aku aja ikut terharu baca ceritanya
    @clara ; kalo keseringan gak bagus juga
    @fajar : eh fajar, sayang dong

    ReplyDelete
  24. @anyin : kangen sama aa slam juga gak?
    @yolis : mau berantem sama sapa yol?
    @secangkir kopi : aku suka menyebut kakak perempuanku dengan sebutan brader
    @just open it : inspirasinya dapat dari milis motivasi kok, kalo yg diatasnya dari aku sendiri.. salam kenal

    ReplyDelete

Followers